Di Indonesia saat ini ada 3 sistem hukum yang mengatur harta kekayaan perkawinan yaitu :
- KUH Perdata (hukum perdata barat).
- Hukum islam.
- Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum adat.
Sistem KUH Perdata tentang kekayaan dalam perkawinan (berlaku bagi Warga negara Indonesia berbangsa tionghoa dan eropa) adalah berbeda dengan sistem hukum islam dan hukum adat.pokok dari sistem KUH Perdata pada dasarnya terjadi/ada campur kekayaan dari suami istri secara bulat.sejak terjadinya perkawinan ,terjadi pula suatu percampuran antara kekayaan suami dan istri,jikalau tidak diperjanjikan apa-apa (Pasal 119 KUH Perdata).
Keadaan yang demikian tersebut berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan.percampuran kekayaan meliputi semua jenis harta,bahkan juga harta yang sifatnya aktiva dan passiva (hutang) yang sudah ada sekarang dan maupun yang akan ada kemudian,termasuk yang diperoleh secara cuma-cuma (dari warisan,hibah).
segala beban suami dan istri yang berupa hutang suami dan istri,baik sebelum maupun sepanjang perkawinan ,kecuali yang mewariskan itu atau orang yang menghibahkan menentukan bahwa barang itu jangan dimasukkan dalam harta persatuan.
Berakhirnya harta persatuan/pemecahan Gamenshap menurut KUH Perdata yaitu :
- Masih terdapat ikatan perkawinan,karena : Pemisahan harta kekayaan (Pasal 186 KUH Perdata),Perpisahan meja dan ranjang (Pasal 243 KUH Perdata).
- Setelah perkawinan bubar ,karena : Kematian,keadaan tidak hadir,karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan perceraian.
Apabila Gamenshap itu dihapuskan ,maka harta itu dibagi 2 antara suami dan istri atau ahli warisnya.selanjutnya apabila salah satu pihak meninggal dunia dan masih ada anak-anak dibawah umur,maka suami atau istri yang masih hidup dalam jangka waktu 3 bulan wajib membuat pencatatan tentang kekayaan mereka bersama,baik secara otentik maupun dibawah tangan dan diserahkan kepada Kepaniteraan pengadilan negeri setempat (Pasal 127 KUH Perdata).
Tetapi kepada bakal suami dan bakal istri diberi kesempatan untuk saling berjanji sebelum dilaksanakannya perkawinan ,bahwa tidak akan ada campur kekayaan secara bulat ,melainkan akan ada campur kekayaan secara terbatas,atau akan tidak ada sama sekali suatu campur kekayaan.Perjanjian semacam ini disebut perjanjian perkawinan (Huwelijks voorwaarden).
Menurut sistem KUH Perdata,campur kekayaan suami dan istri hanya dapat dihindarkan apabila suami dan istri sebelum perkawinan mengadakan perjanjian perkawinan antara mereka.perjanjian perkawinan ini harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung (Pasal 147 KUH Perdata),dengan akta notaris dan tidak boleh diubah selama perkawinan berlangsung (Pasal 149 KUH Perdata).kemudian agar berlaku kepada pihak ketiga,perjanjian perkawinan harus didaftarkan untuk dicatat dalam register umum kepaniteraan pengadilan negeri.
Tujuan perjanjian perkawinan itu dibuat adalah untuk mengatur kedudukan harta dalam perkawinan dengan perjanjian yang menyimpang dari ketentuan umum yang mengatur hukum harta kekayaan perkawinan.
Perjanjian perkawinan dapat berisi :
- Dapat diperjanjikan,bahwa sama sekali tidak akan ada barang-barang yang menjadi milik bersama dari suami istri.
- Dapat diperjanjikan ,bahwa akan ada beberapa bagian kekayaan yang menjadi milik bersama (percampuran secara terbatas).
Adapun bentuk percampuran kekayaan secara terbatas dibedakan atas :
- Campuran keuntungan dan kerugian (Pasal 155-163 dan 165 KUH Perdata).dalam hal ini yang diperjanjikan bahwa tidak semua kekayaan dari suami istri dicampur menjadi satu (milik bersama),melainkan hanya sebagian dari kekayaan yaitu keuntungan yang didapat oleh masing-masing suami dan istri selama perkawinan berlangsung.secara hasil dari kekayaan masing-masing dan secara kerajinan dan pekerjaan masing-masing,sedangkan yang dianggap kerugian bersama yaitu apabila kekayaan masing-masing pada waktu perkawinan putus/terhenti,ternyata menjadi kurang dari semula (Pasal 157 KUH Perdata). Hal-hal yang tidak dapat menjadi milik bersama adalah barang-barang yang diperoleh secara warisan (Pasal 158 KUH Perdata).Penambahan nilai-nilai harga dari barang-barang (Pasal 160 KUH Perdata),dan segala perbaikan yang diadakan pada barang-barang milik bersama (Pasal 161 KUH Perdata).
- Campuran bunga dan hasil kekayaan (Pasal 164 KUH Perdata).disebutkan apabila dijanjikan campuran bungan dan hasil kekayaan ,maka tidak ada campuran kekayaan secara bulat dan tidak juga ada campuran keuntungan dan kerugian. Lazimnya perjanjian perkawinan berupa campuran bunga dan hasil kekayaan ini dianggap sebagai campuran keuntungan saja,sedangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh suami dan istri harua dipikul oleh suami sendiri,berhubung dengan kenyataan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga mengurus milik bersama dan milik pribadi suami dan istri. Si istri hanya bertanggungjawab atas kerugian yang diderita sebagai akibat dari perbuatannya sendiri.
Disamping itu,dalam prakteknya sering diadakan perjanjian perkawinan yang tidak diatur dalam KUH Perdata (tetapi dibenarkan pasal 168 dan 169 KUH Perdata),yang maksudnya mengadakan campuran kekayaan hanya mengenai barang-barang rumah tangga (in boedel), bahwa apabila salah seorang meninggal dunia ,maka milik bersama atas barang-barang rumah tangga itu ,seketika juga beralih menjadi milik pribadi yang masih hidup (Verblijvensbeding).Rasionya agar barang-barang tersebut tidak langsung dibagi dan dapat dipergunakan oleh yang masih hidup.
Hak mengurus harta
Menurut pasal 124 jo pasal 125 KUH Perdata,hak mengurus harta berada ditangan suami,yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas.pengurusan termasuk suami boleh menjual ,memindahtangankan dan membebani harta persatuan tanpa campur tangan dari si istri,kecuuali dalam hal menghibahkan benda-benda tak bergerak,bergerak seluruhnya atau sebagian saja,kecuali kepada anak-anaknya sendiri yang lahir dari perkawinan itu.
Si istri dapat membebani atau memindahtangankan barang-barang itu apabila si suami berada dalam keadaan tidak hadir,ataupun dalam ketidakmampuan menyatakan kehendaknya ,dan tindakan dengan sangat segera dibutuhkan setelah dikuasakan oleh pengadilan.
Apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk (Wan beheer).istri dapat meminta kepada hakim supaya :
- Diadakan pemisahan kekayaan.
- Kalau suami mengobralkan/memboroskan kekayaannya dapat dimintakan Curatele.
- Melepaskan haknya atas kekayaan bersama,apabila perkawinan diputuskan agar terhindar dari penagihan hutang-hutang Gamenschap.
- Mengganti kerugian atas harta istri karena salahnya.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,memberikan peraturan tentang harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum adat.yang menjadi harta bersama hanyalah harta-harta benda yang diperoleh selama perkawinan ,sedangkan harta bawaan dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dimiliki masing-masing (Pasal 35 UU nomor 1 tahun 1974),sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Ketentuan umum harta perkawinan berdasarkan UU nomor 1 tahun 1974 yaitu :
- Harta Pribadi (Prive) suami,yaitu harta bawaan suami atau harta benda yang diperoleh suami sebagai hadiah atau warisan.
- Harta pribadi (Prive) istri,yaitu harta bawaan istri atau harta benda yang diperoleh istri sebagai hadiah atau warisan.
- Harta bersama,yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan.
Para pihak menyimpangi ketentuan harta tersebut dengan membuat suatu perjanjian perkawinan (huwelijk voorwaarden) sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan.
Dalam hukum adat,harta yang diperoleh sebelum perkawinan disebut barang asal,gawan,pusaka, tetap dimiliki masing-masing suami atau istri,dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi kekayaan bersama disebut harta gono gini,guna kaya,pencarian.
Pengurusan harta menurut Pasal 36 UU nomor 1 tahun 1974 diatur sebagai berikut :
- Untuk harta bersama,suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
- Untuk harta bawaan,masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukummengenai harta bendanya.
Perjanjian perkawinan menurut pasal 29 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan ,kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan ,setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan berlangsung.
- Selama perkawinan berlangsung,perjanjian tersebut dapat diubah ,kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Apabila perkawinan putus,maka harta bersama/persatuan itu dibagi 2 antara suami istri atau ahli warisnya.
Dalam hukum Islam,menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah satu dari yang lain.Barang-barang milik masing-masing pada waktu perkawinan tetap menjadi milik masing-masing ,demikian juga segala barang-barang mereka masing-masing selama perkawinan tidak dicampur,melainkan terpisah satu sama lain ,artinya atas barang-barang milik si suami,si istri tidak mempunyai hak dan begitu juga sebaliknya.