Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan akibatnya menurut hukum perdata

0
15381

Buku III KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak (beginsel der contracsvrijheid, freedom of making contract),artinya pada dasarnya setiap orang diperkenankan secara bebas untuk membuat perjanjian mengenai apa saja dan dengan bentuk yang bebas pula,asalkan isinya tidak dilarang Undang-undang,tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Asas buku III KUH Perdata yang memperkenankan orang secara bebas atau leluasa membuat perjanjian,asas ini lazim disebut sistem terbuka. Kebebasan untuk membuat perjanjian ini tidak hanya sekedar bebas atau leluasa membuat perjanjian seperti yang sudah ada pengaturannya dalam KUH Perdata atau Undang-undang lain,bahkan diberikan pula keleluasaan untuk membuat perjanjian yang sama sekali belum ada diatur dalam Perundang-undangan,misalnya : arisan.

Kebebasan membuat perjanjian juga diperkenankan untuk memperjanjikan lain atau berbeda dengan janji-janji yang sudah ada diatur dalam KUH Perdata.Para pihak dengan perjanjian diberikan kebebasan untuk menyimpangi hal-hal yang sudah diatur dalam KUH Perdata. sehingga sering juga dikatakan bahwa peraturan-peraturan dalam buku III KUH Perdata  umumnya merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend recht, optional), misalnya : Pasal 1477 KUH Perdata “penyerahan harus dilaksanakan ditempat dimana barang yang diijual berada pada waktu penjualan,jika tentang itu tidak diperjanjikan lain”.

Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah,berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.hanya saja agar perjanjian yang dibuat itu berlaku secara sah,maka dalam pembuatannya harus memenuhi syarat umum sahnya suatu perjanjian.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata,untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 unsur yaitu:

  1. Adanya kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian (mutual consent atau mutual agreement).
  2. Adanya kecakapan atau kewenangan untuk bertindak (Capacity).
  3. Adanya sebab tertentu (Harus ada objeknya, a certain subject matter).
  4. Adanya sebab yang halal atau diperbolehkan (a legal causa).

Unsur yang terdapat dalam unsur nomor 1,2 diatas disebut syarat subjektif karena menyangkut subjek yang membuat perjanjian. sedangkan unsur nomor 3,4 disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

1).Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian

Perbuatan perjanjian harus dilandasi adanya kesepakatan (konsensus) dari mereka yang membuat perjanjian. Kesepakatan dalam membuat perjanjian akan ada apabila kesepakatan itu tidak diperoleh dari adanya paksaan (dwang), kekeliruan (mistake),ataupun penipuan.

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata,tidak ada kesepakatan dalam membuat perjanjian bila itu terdapat:

  • Kekeliruan/kekhilafan (dwaling) → Pasal 1322 KUH Perdata.
  • Paksaan (dwang) → Pasal 1323 s/d 1327 KUH Perdata.
  • Penipuan (bedreg,deceit) → Pasal 1328 KUH Perdata.

Undang-undang membedakan 2 jenis kekhilafan yaitu mengenai orang (error inpersonal) dan kekhilafan mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian (error insubsrantia).

Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Paksaan ini berwujud kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian (Pasal 1323 s/d 1327 KUH Perdata).

Penipuan adalah dengan sengaja melakukan tipu muslihat,dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui. Penipuan ini terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa,sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut (Pasal 1328 KUH Perdata).

Apabila dalam membuat perjanjian ada kekeliruan (dwaling),Paksaan (dwang),atau penipuan (bedrog),maka akibatnya perjanjian itu tidak sah,dalam arti perjanjian itu dapat dibatalkan.

Pengertian sepakat digambarkan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak.pernyataan pihak yang mengajukan tawaran disebut tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi (acceptatie).

Beberapa teori tentang waktu terjadinya perjanjian antar pihak yaitu:

  • Teori kehendak (wiltheorie),yaitu mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan,misalnya dengan menuliskan surat.
  • Teori pengiriman (verzendtheorie),yaitu mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
  • Teori pengetahuan (vernemingstheorie) yaitu mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
  • Teori kepercayaan (vertrowenstheorie),yaitu bahwa kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

2).Kecakapan atau kewenangan untuk bertindak

Untuk membuat perjanjian orang harus mempunyai kemampuan (bekwaa,capable) atau kecakapan melakukan perbuatan hukum yaitu telah berusia 18 tahun (dewasa) dan tidak dibawah umur (minderjarig), tidak dibawah pengampuan (curatele),mempunyai kewenangan untuk menandatangani perjanjian.

Apabila perjanjian dbuat oleh mereka yang tidak cakap atau tidak mempunyai kewenangan,maka akibatnya perjanjian itu tidak sah,sehingga perjanjian itu dapat dibatalkan.

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata,mereka yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

  • Mereka yang dibawah umur (minderjarig),yaitu yang belum kawin atau belum mencapai usia 18 tahun (Pasal 40 jo 50 Undang-undang nomor 1 tahun 1974).
  • Mereka yang dibawah pengampuan (curandus). Kriteria seseorang dibawah pengampuan adalah orang dewasa tetapi gila,lemah pikiran atau pemboros.
  • Orang-orang tertentu yang tidak punya kewenangan.

3).Objek perjanjian

Objek perjanjian harus tertentu atau ditentukan,artinya sudah ada pada saat membuat perjanjian,atau setidak-tidaknya sudah akan ada (Pasal 1332 s/d 1335 KUH Perdata). Contoh objek perjanjian yang akan ada misalnya : bangunan atau rumah yang akan didirikan. saat membuat perjanjian belum ada,tetapi akan ada (sedang dibangun).

Menurut Pasal 1234 KUH Perdata,Objek perjanjian atau perikatan adalah :

  • Untuk memberi atau menyerahkan sesuatu,misalnya jual beli,tukar menukar.
  • Berbuat sesuatu,misalnya :Membuat lukisan,perjanjian perburuhan.
  • Tidak berbuat sesuatu,misalnya tidak mendirikan perusahaan sejenis.

4).Objek perjanjian yang diperbolehkan

Objek perjanjian yang harus halal atau diperbolehkan yaitu:

  • Tidak dilarang oleh Undang-undang.
  • Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
  • Tidak bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian

Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata adalah tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi. Apabila perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat subjektif (Tidak ada kesepakatan dan dibuat oleh mereka yang tidak cakap atau tidak punya kewenangan),maka akibatnya perjanjian itu tidak sah ,dalam arti perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietig baar, canceling). Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan melalui pengadilan,baik pembatalan secara aktif maupun secara pasif.

Apabila perjanjian yang dbuat tidak memenuhi syarat objektif (tidak ada objek tertentu,objeknya tidak diperbolehkan),maka akibatnya perjanjian itu tidak sah,dalam arti perjanjian itu batal demi hukum (nietig,null and void),artinya perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif sejak semula dianggap tidak pernah ada.jadi tidak perlu dilakukan pembatalan.

Akibat hukum sahnya suatu perjanjian

Menurut Pasal 1338 KUH Perdata,akibat hukum sahnya suatu perjanjian yaitu:

  1. Perjanjian itu mengikat kedua belah pihak sebagaimana Undang-undang.
  2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik oleh satu pihak.
  3. Perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik,artinya bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.

Dalam hukum perjanjian dikenal asas Konsesualitas yaitu suatu asas yang menyatakan pada dasarnya perjanjian sudah dilahirkan atau terjadi sejak tercapainya kesepakatan. Dari asas tersebut disimpulkan  bahwa perjanjian dapat dibuat secara lisan saja atau dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta,baik akta otentik maupun tidak otentik.

Akta Otentik adalah segala tulisan yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang,digunakan untuk membuktikan sesuatu,diberi tanggal dan ditandatangani.Tujuan suatu perjanjian dibuat secara tertulis adalah sebagai alat bukti lengkap dari apa yang mereka perjanjikan.

Selain itu dikenal juga adanya Perjanjian formalitas (formal agreement),yaitu suatu perjanjian yang dilahirkan sejak dipenuhinya formalitas atau perbuatan tertentu. selain itu ada juga Perjanjian riel,yaitu suatu perjanjian dimana untuk sahnya harus dilakukan dengan perbuatan tertentu misalnya: Perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), perjanjia pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata).

Pada umumnya perjanjian bersifat Obligatiner,obligatory,artinya perjanjian yang dibuat pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja,belum memindahkan hak milik (ownership). hak milik baru berpindah apabila diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke ovreenkomst,delivery contract).

Jenis-jenis perjanjian

  1. Perjanjian sepihak,yaitu suatu perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak  dan hak pada pihak lainnya.misalnya : Perjanjian hibah (Pasal 1666 KUH Perdata).
  2. Perjanjian timbal balik (bilateral contract),yaitu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua pihak.jadi dalam perjanjian timbal balik,pihak yang satu mempunyai hak sekaligus kewajiban.dipihak lain juga mempunyai hak sekaligus kewajiban,misalnya : Jual beli,sewa menyewa.
  3. Perjanjian bernama (benoemd,unspecified),yaitu perjanjian yang mempunyai sendiri dan telah diatur dalam Undang-undang.Perjanjian ini disebut juga perjanjian khusus atau tertentu, diatur dalam buku III Bab V s/d XVIII KUH Perdata.
  4. Perjanjian tidak bernama (onbeenoemd) yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang/KUH Perdata.
  5. Perjanjian tambahan (accessoir),yaitu suatu perjanjian yang lahir dan merupakan perjanjian tambahan yang dibuat untuk mengikuti perjanjian pokok,misalnya : Perjanjian gadai,fidusia,hipotik,hak tanggungan.
  6. Perjanjian baku,yaitu suatu perjanjian tertulis dimana isi perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur. Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah standard,contract atau standard voorwaarden. Dengan perjanjian baku ini,maka kreditor (pengusaha) akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya,tenaga dan waktu.Perjanjian baku umumnya dibuat secara kolektif sehingga “vera bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Dalam perjanjian baku tersebut umumnya dicantumkan klausul eksenorasi yaitu klausul yang dicantumkan didalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas,yang terjadi karena ingkar janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum.
  7. Perjanjian pendahuluan (memorandum of understanding/ MOU),merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat untuk mempersiapkan perjanjian yang akan disepakati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here