Sejarah mengikatnya dan akhir berlakunya perjanjian internasional

0
8020

Perjanjian internasional atau “treaty” adalah sarana utama yang dipunyai oleh negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional.Perjanjian internasional merupakan bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam masyarakat internasional.

Perjanjian internasional merupakan sarana untuk menetapkan kewajiban kepada pihak dalam perjanjian itu. Dalam konvensi Wina tahun 1969 menetapkan mengertian perjanjian internasional (Treaty) sebagai persetujuan yang digunakan oleh dua negara atau lebih untuk mengadakan hubungan antar mereka menurut ketentuan hukum internasional.

Istilah “treaty” digunakan sebagai ” nomengeneralissmum” karena dalam pengertiaan itu istilah tersebut mencakup setiap persetujuan antar negara tanpa memperhitungkan bentuknya,misalnya tertulis ataupun tidak tertulis,dan tanpa memperhitungkan pula petugas yang melaksanakan,seperti misalnya kepala negara ataupun menteri luar negeri.

Treaty juga mencakup persetujuan antar negara dan organisasi internasional erta antar organisasi internasional satu sama lain.Dalam konvensi Wina tahun 1969 tidak mengatur treaty dalam pengertian yang sangat luas tersebut.konvensi tersebut hanya berlaku bagi treaty antar negara dalam bentuk tertulis.

Dalam praktek hubungan antar negara ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut perjanjian internasional tersebut,antara lain “treaty” (dalam arti sempit),Konvensi,protokol dan deklarasi. Masing-masing istilah tersebut digunakan sesuai dengan petugas yang melaksanakan serta isi perjanjian internasional yang bersangkutan Misalnya :

  • treaty, digunakan untuk menyebut persetujuan resmi tentang masalah yang fundamental.
  • Konvensi,digunakan untuk menyebut peretujuan resmi yang multilateral atau persetujuan yang diterima oleh organ dari suatu organisasi internasional.
  • protokol,digunakan untuk menyebut persetujuan yang isinya melengkapi suatu konvensi.
  • deklarasi,digunakan dalam pengertian yang sama dengan “treaty”.

Sesuai dengan petugas yang melaksanakan persetujuan,perjanjian internasional dapat dibedakan menurut bentuknya,misalnya : Perjanjian internasional antar kepala negara,perjanjian internasional antar pemerintah,perjanjian internasional antar menteri. Perbedaan bentuk tersebut tidak mempengaruhi kekuatan mengikatnya perjanjian internasional tersebut.

Pernyataan menteri luar negeri suatu negara kepada menteri luar negeri negara lain sama kekuatan mengikatnya  dengan perjanjian internasional antar kepala negara. Hukum internasional tidak menuntut bentuk tertentu dari perjanjian internasional. bagi hukum internasional,isi dan substansi perjanjian internasional lebih penting daripada bentuknya.

Berdasarkan jumlah pihak-pihak yang berjanji,perjanjian internasional juga dapat dibedakan antara perjanjian internasional yang bilateral dan perjanjian internasional yang multilateral. Perjanjian internasional bilateral adalah perjanjian internasional yang dilakukan oleh dua negara yang berjanji. dan Perjanjian internasional multilateral adalah perjanjian internasional yang dilakukan oleh banyak negara yang berjanji.

MENGIKATNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL

Menurut ajaran dari Anzilotti,perjanjian internasional mengikat berdasarkan prinsip “Pacta sunt servanda“, prinsip ini sesuai dengan ketentuan dalam praktek yang ditetapkan dalam deklarasi konferensi London tahun 1871, bahwa negara-negara mengakui prinsip hukum internasional yang menetapkan bahwa negara tidak dapat membedakan diri dari ikatan perjanjian internasional atau merubah ketentuannya tanpa persetujuan pihak lawan berjanji melalui saling pengertian yang bersahabat.Dengan demikian persetujuan negara mewajibkan negara itu untuk menaatinya.

Agar suatu perjanjian internasional dapat mengikat,perjanjian itu harus dibuat oleh pihak yang berwenang dan menurut prosedur yang berlaku. Pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional adalah negara dan organisasi internasional yang memenuhi persyaratan hukum internasional.

Negara dan organisasi internasional juga harus diwakili oleh pejabat yang berwenang menurut hukum internasional dan hukum nasional negara atau anggaran dasar organisasi internasional yang bersangkutan.

Perjanjian internasional merupakan “res inter alios acta“. oleh karena itu pada prinsipnya perjanjian internasional hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji saja.Menurut prinsip umum yang berlaku,perjanjian internasional tidak menimbulkan hak ataupun kewajiban bagi negara ketiga (Pacta tertiis nec nocent nec prosunt).

Pengecualian terhadap prinsip itu terjadi antara lain bila pihak-pihak yang berjanji memberi hak kepada negara ketiga,bila perjanjian internasional bersifat multilateral yang merupakan kodifikasi hukum internasional kebiasaan yang telah ada, bila perjanjian internasional itu bersifat multilateral yang dimaksudkan berlaku universal.

Hak dan kewajiban yang ditetapkan suatu perjanjian internasional pada prinsipnya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak dan kewajiban itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pihak lawan berjanji,misalnya melalui persetujuan baru (Novasi) antara pihak-pihak yang berjanji dengan negara ketiga.

PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui akreditasi petugas perundingan,perundingan,penandatangan keputusan hasil perundingan,ratifikasi,tukar menukar naskah ratifikasi ,saat mulai mengikatnya perjanjian internasional,pendaftaran serta pengumuman perjanjian internasional dan sahnya perjanjian internasional.

  1. Akreditasi petugas perundingan: untuk membuat perjanjian internasional negara yang bersangkutan terlebih dahulu mengakreditasi petugasnya yang akan melakukan perundingan. akreditasi itu menetapkan status petugas tersebut sebagai perutusan beserta wewenang yang dimilikinya. Wewenang perutusan yang lengkap berupa wewenang untuk menghadiri perundingan,untuk ikut serta berunding,untuk menetapkan keputusan yang diperjanjikan dan untuk menandatangani perjanjian. Akreditasi itu berupa surat resmi dari kepala negara atau menteri luar negeri. Surat itu disebut “kuasa penuh” (full power). Kuasa penuh itu diberitahukan kepada pihak lawan berunding. Dalam perjanjian internasional bilateral,pemberitahuan itu dilakukan antara lain dengan saling menukar surat tersebut. Dalam perjanjian internasional multilateral,pemberitahuan itu dilakukan melalui panitia yang kemudian melaporkannya kepada konferensi.
  2. Perundingan :  Keputusan hasil perundingan pada umumnya ditandatangani kepala perutusan negara yang berunding. Penandatanganan itu pada umumnya dilakukan di tempat dan waktu yang sama dalam kehadiran pihak lawan yang berjanji. Penandatanganan itu dimaksudkan sebagai otentifikasi naskah keputusan hasil perundingan . Untuk perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi dan bila tidak ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut, penandatanganan hasil perundingan berakibat mengikatnya perjanjian internasional itu bagi negara yang menandatanganinya. Untuk perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi penandatanganan itu tidak berakibat terikatnya negara penandatangan.
  3. Ratifikasi : Ratifikasi adalah perbuatan negara yang dalam taraaf internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang sudaah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaan ratifikasi itu tergantung pada hukum nasional negara yang bersangkutan. Dasar pembenaran adanya ratifikasi itu adalah bahwa negara berhak untuk meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima kewajiban  yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan dan bahwaa negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan. Namun hukum internasional tidak mewajibkan negara yang perutusannya telah menandatangani hasil perundingan yang dilakukan,menurut hukum ataupun moral untuk meratifikasi persetujuan tersebut.Tidak adanya kewajiban tersebut disebabkan karena negara adalah berdaulat.
  4. Tukar menukar naskah ratifikasi : Naskah ratifikasi perjanjian internasional bilateral kemudian dipertukarkan dengan negara pihak lawan berjanji,sedangkan naskah ratifikasi perjanjian internasional multilateral kemudian diserahkan kepada negara penyimpan. Negara penyimpan naskah ratifikasi biasanya adalah departemen luar negeri negara tempat ditandatanganinya perjanjian.
  5. Saat mulai mengikatnya perjanjian internasional : Ratifikasi menetapkan terikatnya negara pada suatu perjanjian internasional,tetapi ratifikasi tidak menetapkan saat mulai terikatnya negara tersebut pada perjanjian yang diratifikasinya. saat mulai mengikatnya perjanjian internasional yang diratifikasi terjadi pada saat penukaran naskah ratifikasi kepada pihak lawan berjanji atau penyerahan naskah ratifikasi kepada negara penyimpan naskah ratifikasi. Perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi biasanya berlaku mulai tanggal penandatanganan perjanjian internasional tersebut. pada umumnya berlakunya perjanjian internasional bergantung pada ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut.
  6. Pendaftaran dan pengumuman perjanjian internasional :Perserikatan bangsa-bangsa mewajibkan anggotanya untuk mendaftarkan semua perjanjian dan persetujuan internasional yang dibuatnya kepada sekretariat Perserikatan bangsa-bangsa yang kemudian akan mengumumkannya dalam “United nations treaties series“. Akibat dari pendaftaran dan pengumuman itu adalah bahwa perjanjian internasional itu lalu dapat digunakan sebagai dasar hukum dihadapan organ Perserikatan Bangsa-bangsa. Tidak didaftarkannya perjanjian internasional itu tidak berarti  batalnya perjanjian tersebut. Perjanjian yang tidak didaftarkan itu masih dapat digunakan sebagai dasar hukum di hadapan badan atau pengadilan di luar Perserikatan Bangsa-bangsa. Tujuan mendaftarkan perjanjian internasional tersebut adalah untuk mencegah dibuatnya perjanjian internasional rahasia.
  7. Sahnya Perjanjian internasional : Sah artinya berlaku menurut hukum.dengan demikian perjanjian internasional adalah sah bila memenuhi ketentuan hukum yang berlaku,baik ketentuan hukum yang mengatur wewenang pihak yang berjanji maupun ketentuan hukum yang mengatur proses pembuatan perjanjian internasional yang bersangkutan. Dalam Konvensi Wina tahun 1969 tidak menetapkan syarat sahnya perjanjian internasional. Konvensi itu menetapkan prinsip yang diterima umum tentang 6 unsur yang dapat menjadi dasar tidak sahnya perjanjian internasional yaitu :
    • Ketidakwenangan perutusan.
    • Kekhilafan.
    • Penipuan.
    • Penyalahgunaan wewenang.
    • Paksaan dan bertentangan dengan “ius cogens“. Yang dimaksud dengan ius cogens adalah prinsip hukum yang memaksa,yang tidak dapat diingkari atau disimpangi ketentuan hukum yang lain. ius cogens hanya dapat dirubah oleh “ius cogens‘ lain yang timbul kemudian.
  8. Penafsiran perjanjian internasional : Penafsiran  perjanjian internasional berarti menetapkan pengertian ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tersebut. Hakikat penafsiran adalah menguraikan dan menjelaskan pengertian ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tersebut.
    1. Cara penafsiran perjanjian internasional dalam beberapa prinsip yang mendasari cara penafsiran perjanjian internasional yaitu :

1). Penafsiran gramatikal dan kehendak pihak berjanji.

Penafsiran gramatikal adalah penafsiran ketentuan perjanjian internasional yang sesuai dengan pengertian lugas dan wajar dari kata-kata dan kalimat ketentuan perjanjian itu untuk mengetahui kehendak para pihak yang berjanji. Penafsiran tersebut didasarkan pada pendapat bahwa kata dan kalimat perjanjian internasional disusun sesuai dengan kata dan kalimat itu secara lugas dan wajar dan tidak pengertian kata kliasan.

Penafsiran gramatikal tidak digunakan bila penafsiran itu mengakibatkan ketidakcocokan dengan pengertian ketentuan bagian lain perjanjian internasional tersebut atau bertentangan dengan maksud pihak-pihak yang berjanji.Maksud dari pihak-pihak yang berjanji itu adalah maksud yang berjanji pada saat pembuatan perjanjian internasional yang bersangkutan.

2). Penafsiran menurut obyek dan konteks perjanjian

Penafsiran menurut obyek dan konteks perjanjian internasional dilakukan bila kata-kata atau kalimat ketentuan perjanjian itu mengandung arti yang meragukan. Dalam hal demikian pengertian ketentuan itu ditetapkan berdasarkan tujuan perjanjian tersebut atau konteks perjanjian itu.

Penafsiran berdasarkan tujuan perjanjian itu dibenarkan oleh Konvensi Wina tahun 1969. Konteks perjanjian yang dimaksud itu dapat merupakan konteks perjanjian seluruhnya ataupun sebagian dari perjanjian tersebut.

3). Penafsiran berdasarkan pengertian yang masuk akal dan konsisten.

Ketentuan perjanjian internasional harus diberi pengertian yang masuk akal dan konsisten dengan bagian-bagian perjanjian internasional yang bersangkutan dan prinsip dalam pembuatan perjanjian internasional yakni bahwa negara yang merupakan pihak dalam perjanjian internasional tidak mau dibatasi kedaulatannya,kecuali yang dinyatakan dengan tegas.Dalam hal terdapat pertentangan antara ketentuan umum dan ketentuan khusus,berlaku asas “Lex specialis derogat legi generali“.

4). Penafsiran berdasarkan prinsip efektivitas.

Perjanjian internasional harus ditafsirkan yang dalam keseluruhannya akan menjadikan perjanjian internasional itu paling efektif dan berguna,dengan kata lain perjanjian internasional itu harus ditafsirkan sedemikian rupa hingga masing-masing ketentuannya dapat menimbulkan akibat hukum sebagaimana mestinya.

5) Penggunaan bahan ekstrinsik

Yang dimaksud dengan bahan ekstrinsik adalah ketentuan,penjelasan,laporan,persetujuan dan perjanjian yang tidak merupakan bagian dari perjanjian internasional yang ditafsirkan. Bahan ekstrinsik tersebut juga mencakup kebiasaan historis yang relevan dengan perjanjian internasional yang ditafsirkan. naskah persiapan pembuatan perjanjian internasional yang ditafsirkan,perjanjian internasional yang diadakan kemudian dan tingkah laku pihak-pihak yang berjanji kemudian.

Dalam menafsirkan ketentuan perjanjian internasional pada umumnya tidak dibenarkan menggunakan bahan ekstrinsik.Perjanjian harus ditafsirkan dalam konteks perjanjian itu sendiri. Hanya dalam hal kata-kata dan kalimat yang tidak jelas bahan ekstrinsik tersebut dapat digunakan.

6). Perjanjian internasional multilingual

Perjanjian internasional multilingual adalah perjanjian internasional yang merumuskan keputusan hasil perundingan  dalam beberapa bahasa. Contoh perjanjian internasional multilingual yaitu,Piagam perserikatan bangsa-bangsa,yang secara resmi dirumuskan dalam bahasa inggris,prancis,spanyol,rusia dan cina. Perumusan dalam masing-masing bahasa itu mempunyai otentisitas yang sama,kecuali bila ditentukan lain,istilah-istilah dalam masing-masing perumusan itu dianggap mempunyai pengertian yang sama pula.

Untuk menjelaskan pengertian ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional,pihak-pihak yang berjanji dapat melengkapi perjanjian internasional yang dibuatnya dengan protokol,proses verbal atau “final act“. Protokol,proses verbal dan final act tersebut ditambahkan dalam perjanjian internasional dan berisi penafsiran yang terinci serta penjelasan ketentuan yang kurang jelas.

Lembaga penafsir yang diberikan wewenang untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang berlaku yaitu mahkamah internasional,Mahkamah masyarakat eropa dan Panitia Juris ad hoc.

RESERVASI

Reservasi adalah pernyataan sepihak suatu negara pada saat menandatangani,meratifikasi,menerima,menyetujui atau ikut serta dalam suatu perjanjian internasional dengan maksud untuk mengecualikan  atau merubah akibat hukum suatu ketentuan perjanjian internasional bagi dirinya.

Alasan penetapan Resevasi adalah karena negara yang mengadakan Reservasi itu bersedia terikat pada perjanjian internasional tetapi tidak pada seluruh ketentuannya.negara itu tidak menghendaki terikat oleh ketentuan tertentu atau menghendaki perubahan ketentuan tertentu.

Negara berhak menentukan reservasi karena dalam pembuatan perjanjian internasional negara adalah berdaulat. disamping itu penetapan Reservasi oleh negara yang berunding itu dibenarkan oleh 2 pertimbangan yaitu :

  • Pertimbangan agar perjanjian internasional yang bersangkutan diikuti oleh pihak negara sebanyak mungkin.
  • Pertimbangan agar ketentuan-ketentuan dasar perjanjian internasional itu diutamakan berlakunya dengan memungkinkan adanya perbedaan kewajiban yang tidak penting.

Reservasi harus dinyatakan secara tertulis dan diumumkan sebagaimana mestinya. Pihak lawan berjanji dapat menerima atau menolak reservasi tersebut. Dalam hubungan antara negara yang menetapkan reservasi dan negara yang menerima reservasi,perjanjian internasional,berlaku dengan Reservasi yang disepakati.

Dalam hubungan antara negara yang menetapkan Reservasi dengan negara yang menolak Reservasi,membolehkan berlakunya perjanjian internasional tersebut antar mereka.

AKSESI DAN ADHESI

Menurut Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian internasional,pengertian aksesi sama dengan ratifikasi. namun doktrin memberi pengertian lain pada aksesi yaitu ikut serta suatu negara,yang bukan negara penandatangan suatu perjanjian internasional,dalam perjanjian internasional tersebut dengan status yang sama dengan negara pihak penandatangan yang pertama.

Doktrin juga membedakan antara Aksesi dan Adhesi. Adhesi adalah Aksesi yang hanya menyetujui prinsip-prinsip perjanjian internasional tersebut. Aksesi dapat terjadi karena adanya pernyataan kehendak dari negara yang menghendaki aksesi tersebut atau sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang hendak diikuti. Dalam praktek,bentuk aksesi pada umumnya sama dengan instrumen ratifikasi.Ketentuan tukar menukar dan penyimpanan naskah ratifikasi berlaku juga bagi Aksesi.

REVISI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Revisi,seperti halnya amandemen,modifikasi adalah suatu proses perubahan ketentuan perjanjian internasional yang berlaku. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan ketentuan perjanjian internasional yang ada dengan keadaan yang berubah. Kemungkinan  diadakannya revisi didasarkan pada prinsip dasar bahwa perjanjian internasional dapat dirubah dengan persetujuan pihak-pihak yang berjanji. Prinsip itu biasanya dituangkan dalam ketentuan amandemen perjanjian internasional yang bersangkutan.

PERTENTANGAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Piagam Perserikatan bangsa-bangsa melarang dibuatnya perjanjian internasional yang bertentangan dengan piagam itu.Bila terjadi pertentangan antara kewajiban-kewajiban anggota menurut piagam itu dan menurut perjanjian internasional lain,maka kewajiban menurut Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa itulah yang harus diutamakan.

AKHIR BERLAKUNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL

Perjanjian internasional berakhir berlakunya karena 2 alasan yaitu Berakhir karena hukum dan berakhir karena perbuatan negara yang berjanji.

  1. Berakhir karena hukum

Perjanjian internasional berakhir berlakunya karena hukum terjadi antara lain karena hapusnya unsur perjanjian ,karena timbulnya “ius cogens” dan karena ajaran “ rebus sic stantibus“.

Hapusnya unsur perjanjian terjadi karena hapusnya salah satu pihak dalam perjanjian internasional bilateral atau karena hapusnya seluruh materi yang diperjanjikan. Hapusnya pihak yang berjanji antara lain karena hapusnya kedaulatan negara pihak yang berjanji.

Timbulnya “ius cogens” baru setelah berlakunya suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan “ius cogens” tersebut. Pengakhiran perjanjian internasional oleh “ius cogens” itu ditetapkan dalam Konvensi Wina tahun 1969,tetapi masih menimbulkan keberatan-keberatan. Keberatan tersebut terutama karena pengakhiran perjanjian internasional karena bertentangan dengan “ius cogens” yang ditetapkan kemudian tersebut tidak menjamin kepastian hukum.

Ajaran “Rebus sic stantibus” menyatakan bahwa kewajiban yang ditetapkan dalam suatu perjanjian internasional tetap berlaku selama keadaan esensial pada saat dibuatnya perjanjian itu dalam keadaan tetap dan tidak berubah. Dengan kata lain kata perubahan fundamental dari keadaan pada saat dibuatnya perjanjian internasional dapat digunakan sebagai dasar untuk mengakhiri berlakunya perjanjian internasional tersebut atau menarik diri dari perjanjian itu.

Ada 2 teori yang menjadi dasar pembenaran diberlakukannya ajaran “Rebus sic stantibus” yakni bahwa suatu treaty dianggap diam-diam mengandung klausula “rebus sic stantibus” (implied term theory) dan teori perubahan fundamental itu ditentukan oleh 2 hal yaitu :

  1. Ukuran subyektif,adalah bahwa pihak-pihak yang berjanji mempertimbangkan kelangsungan keadaan yang meliputi pembuatan perjanjian internasional sebagai faktor penentu keikutsertaannya pada perjanjian internasional tersebut.
  2. Ukuran objektif,adalah bahwa perubahan yang terjadi adalah sedemikian rupa hingga merubah kewajiban pihak-pihak yang berjanji. teori perubahan fundamental keadaan itu dianut Konvensi Wina tahun 1969.

Pengakhiran berlakunya perjanjian internasional berdasarkan ajaran “ rebus sic stantibus” harus dengan memberitahukan pengakhiran itu kepada pihak lawan berjanji. Pengakhiran perjanjian internasional itu tidak dapat terjadi secara otomatis.

2.BERAKHIR KARENA PERBUATAN

Perjanjian internasional dapat berakhir karenapersetujuan pihak-pihak yang berjanji.Persetujuan itu dapat ditetapkan di dalam perjanjian internasional yang bersangkutan atau ditetapkan di luar perjanjian internasional tersebut.

Perjanjian internasional dapat juga berakhir berlakunya karena kehendak sepihak dari negara yang berjanji. hekendak sepihak itu dapat berbentuk pernyataan pengakhiran perjanjian atau pun pengunduran diri negara pihak perjanjian internasional yang bersangkutan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here