Sejarah perkembangan hukum agraria pada masa penjajahan belanda menurut Agrarisch wet Stb.1870-55

0
7201

Masuknya bangsa Belanda ke Indonesia sebelumnya dilatar belakangi masuknya bangsa-bangsa asing terlebih dahulu yaitu bangsa Portugis,Spanyol yang tujuan semula adalah untuk melakukan usaha perdagangan khususnya rempah-rempah yang memiliki harga jual yang tinggi di eropa. Pada tahun 1509 Portugis masuk di India dibawah pimpinan Vasco da gama,kemudian tahun 1512 dibawah pimpinan D.Abreu dan Serrao Portugis datang ke Indonesia masuk wilayah perairan maluku di daerah Ambon dan ternate.

Pada tahun 1521 Spanyol menyusul Portugis masuk ke Indonesia,tetapi tidak sempat berkuasa karena antara Portugis dan Spanyol membuat suatu perjanjian mengenai pembagian wilayah kekuasaan yaitu perjanjian “Saragosa” yang berisi bahwa daerah jajahan portugis adalah Indonesia sedangkan daerah jajahan Spanyol adalah Philipina.

Pada tahun 1522 Portugis mulai menanamkan imperialisme barat di Indonesia dengan mendirikan sebuah benteng di Ambon sebagai jalan untuk menguasai kepulauan maluku,akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena mendapat perlawanan dari raja-raja tabari.

Pada tahun 1596 Belanda menyusul Portugis masuk ke Indonesia yang kemudian membentuk VOC (Verenigde Oast Indische Compagnie) sebagai badan perdagangan untuk mengatasi bangsa-bangsa asing. Adapun prinsip dagang yang diterapkan VOC adalah membeli dengan harga murah tetapi menjual dengan harga yang tinggi. Kekuasaan VOC di Indonesia semakin lama semakin kuat, hal tersebut dikarenakan adanya ” Hak Oktoroit” tanggal 20 Maret 1602, VOC diberikan kekuasaan atas nama Staten General.

Berdasarkan hak oktoroit, VOC diberi kewenangan-kewenangan diantaranya :

  1. Mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja di Indonesia maupun negara-negara  asing.
  2. Mempunyai tentara sendiri dan mengeluarkan uang sendiri.
  3. Mengangkat gubernur dan pegawai-pegawai lainnya.

VOC dalam menjalankan kekuasannya mengadakan hubungan secara hukum barat di daerah-daerah yang dikuasainya. hal ini dijalankan sesudah Belanda berhasil mengalahkan Portugis pada tahun 1641,dimana Portugis diusir dari wilayah Indonesia kecuali Timor-timur. Pada awal kekuasaan belanda menjalankan politik monopoli dan pungutan paksa terhadap daerah-daerah yang telah jatuh dalam kekuasaannya, baik melalui penaklukan maupun perjanjian yang diadakan VOC dengan raja.

Pada tahun 1602 VOC memberikan tanah yang dikuasainya kepada orang-orang asing dengan imbalan harus menyetorkan sebagian hasilnya kepada VOC, dan kemudian karena terdesak alasan keuangan di negeri Belanda,kemudian VOC mulai menjual tanah kepada pihak swasta (Partikelir).

Pada tahun 1799 VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan, kemudian penguasaanya digantikan oleh pemerintah kerajaan belanda dan kemudian menugaskan Willem Daendels sebagai Gubernur di Hindia Belanda untuk periode tahun 1808 – 1811. Pada saat pemerintahannya Gubernur Jenderal Willem daendels memprakarsai perubahan-perubahan adminstrasi untuk menciptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis.

Pada tahun 1811 – 1816,kolonial inggris menggantikan kekuasaan belanda di Indonesia dan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan maupun di bidang pertanahan. Pada masa pemerintahan Raffles inilah diperkenalkan teori yaitu ” Domein Theory”. menurut teori ini, semua tanah adalah milik raja atau pemerintah, dan penduduk yang mengerjakan tanah tersebut dianggap sebagai penyewa saja dengan kewajiban menyerahkan sewa berupa uang atau hasil dari tanah itu.

Pada Prinsipnya Domein Theory adalah sebagai dasar dalam menetapkan kebijakan pajak tanah (Landrente). Besarnya pajak tanah ditetapkan menurut tingkat kesuburan tanah yaitu :

  1. Untuk tanah sawah, pajak yang mesti dibayar adalah 1/2, 2/5, atau 1/3 dari hasil panen.
  2. Untuk tanah kering/tegalan pajak yang mesti dibayar adalah 2/5, 1/3 atau 1/4 dari hasil panen.

Setelah kekuasaan kembali ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda, kebijaksanaan sewa tanah atas dasar prinsip “ Domein Theory” dari Gubernur Raffles diteruskan oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan usaha mereka di Indonesia.

Gubernur Hindia Belanda Van Den Bosch pada periode 1830 memulai tugasnya sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. saat itu pemerintah Belanda sedang kesulitan keuangan karena peperangan dalam memperluas daerah jajahan di indonesia maupun peperangan dengan Belgia. untuk mengatasi masalah tersebut Gubernur Van Den Bosch menerapkan sejumlah aturan pendukung diantaranya yang terkenal dengan sebutan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa.

Pada prinsipnya kebijakan tersebut mengharuskan kepada pemilik tanah untuk menanami 1/5 dari tanahnya dengan tanaman tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda seperti Kopi,tembakau,teh,tebu dan lain-lain.kemudian hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah untuk di ekspor ke eropa. dari hasil politik “Tanam paksa” yang diterapkan tersebut kemudian mendatangkan keuntungan yang berlimpah bagi pemerintah Belanda.

Dengan berkembangnya imperialisme,maka para pengusaha swasta dari negeri belanda yang merasa usahanya di bidang perkebunan besar mendapat rintangan selama pelaksanaan sistem tanam paksa,kemudian menuntut kesempatan yang lebih besar untuk membuka perkebunan di Indonesia, terlebih karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), dan tuntutan tersebut semakin keras disuarakan. Proses tuntutan tersebut memakan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya pemerintah Belanda menemukan jalan keluar pada tahun 1870 dengan lahirnya Agrarisch Wet Stb. 1870 – 55 (Undang-undang Agraria) pada tanggal 9 April 1870.

Agrarisch Wet Stb. 1870 – 55

Agrarisch Wet (AW) di undangkan dalam  Stb. 1870 – 55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement (RR) Hindia Belanda tahun 1854. Semula RR tersebut terdiri atas 3 ayat. dengan tambahan 5 ayat baru (yaitu 4-8) oleh Agrarisch Wet (AW), maka pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1925.

Adapun isi lengkap (terjemahan) pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) yaitu :

  1. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah.
  2. Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
  3. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. tidak termasuk yang boleh disewakan  adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan,demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.

Tambahan Agrarisch Wet (AW)

4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun.

5. Gubernur jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.

6. Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri,demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa,kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan,semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.

7. Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksud: hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom,dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam eigendomnya, yaitu yang mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan,demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya kepada non pribumi.

8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.

Dengan ditetapkannya Agrarisch Wet (AW) Stb. 1870 – 55, para pemilik modal asing, bangsa Belanda maupun orang-orang eropa lainnya mendapatkan kesempatan yang luas untuk berusaha di bidang perkebunan. Adapun keuntungan yang diperoleh oleh para pemilik modal swasta  sangat besar dari ekspor hasil perkebunan, meskipun sebaliknya harus dibayar mahal oleh rakyat dengan penderitaan yang berat.

Aturan pelaksanaan dari Agrarisch Wet (Stb.1870 – 55) adalah Agrarisch Besluit (keputusan agraria) yang diundangkan  dalam Stb.1870 – 118. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit tersebut memuat suatu ketentuan yang kemudian dikenal dengan nama “Domein Verklaring” atau pernyataan umum tanah negara yang berbunyi : ” Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan kedua dan ketiga dari Wet itu,tetap dipegang asas bahwa semua tanah yang tidak dibuktikan ada hak eigendom atasnya oleh orang lain adalah domein negara” .Wet itu maksudnya yaitu Agrarisch Wet S.1870 No 55 ayat 5,6, Pasal 51 IS.

Sesuai ketentuan Pasal 1 Agrarisch Besluit Stb. 1870-118, berarti bahwa semua tanah rakyat Indonesia adalah tanah negara karena tanah-tanah itu dimiliki berdasarkan hukum adat. Pemerintah kolonial belanda memerlukan pernyataan negara sebagai pemilik semua tanah ini untuk sebagai dasar legitimasi untuk mendapatkan tanah dengan hak-hak barat guna kepentingan para pemilik modal di Indonesia.

Domein Verklaring memungkinkan negara sebagai pemilik (eigenaar) atas tanah sehingga dapat memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht,hak opstal dan lain-lain.

Dalam hal pembuktian kepemilikan tanah, maka berdasarkan Pasal 1 Agrarisch Besluit S.1870-118, negara tidak harus membuktikannya, sebaliknya rakyat lah yang harus membuktikan tanah yang mereka miliki.

Adapun Kandungan penting dari Agrarisch Besluit S.1870-118 yaitu :

  1. Memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah-tanah terlantar yang tidak digarap atau belum digarap.
  2. Memberikan dasar kewenangan kepada negara untuk melepaskan hak penguasaannya atas tanah-tanah tersebut dan memberikan kepada pengusaha perkebunan erfpacht dengan jangka waktu 75 tahun.
  3. Memberikan kesempatan kepada pribumi untuk menguasai tanah menjadi tanah eigendom menurut hukum eropa.
  4. Melarang pemindahan hak kepada golongan rakyat.

dengan adanya kebijakan tersebut,pengusaha swasta dimungkinkan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here