Pengertian konversi mengenai hak-hak atas tanah sebagai mana dimaksudkan oleh pakar Hukum Agraria Bapak Prof. DR.AP Perlindungan SH. Bahwa konversi adalah :”Penyesuaian Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: Hak-Hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA“
Dari istilah konversi tersebut diatas, dalam Hukum Agraria dimaksudkan adalah penyesuaian, peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah menurut sistem lama yakni hak-hak atas tanah yang pernah tunduk pada ketentuan KUH Perdata atau pun hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat kepada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Dasar Hukum pelaksanaan konversi terdapat pada bagian kedua UUPA terdiri dari : Ketentuan konversi bagi tanah yang tunduk pada KUH Perdata diatur dalam pasal I, III, IV, V mengenai ketentuan pelaksanaannya dituangkan kedalam beberapa peraturan perundangan antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No.2 tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA;
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1970 tentang penyelesaian konversi hak-hak barat menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha;
c. Keppres No. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat;
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 tahun 1979 tentang ketentuan – ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak atas tanah asal konversi hak barat .
Sedangkan konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II, VI dan VII, ketentuan konversi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak Indonesia atas tanah;
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah;
c. Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 / DDA / 1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah.
2. Tujuan dan Fungsi Konversi
Tujuan dari konversi hak–hak atas tanah tidak lepas dari tujuan yang hendak dicapai UUPA yakni unifikasi dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Secara lebih khusus konversi bertujuan untuk mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUHperdata yang lebih mengutamakan kepentingan individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum adat dengan keanekaragamannya itu.
Keseluruhan dari hak-hak atas tanah dari produk hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau diubah kedalam salah satu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Hutan, Hak Memungut Hasil Hutan, Dll.
Tentunya hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut tidak bersifat Liminatif, dalam pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk pengembangan hak-hak atas tanah lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam proses konversi hak atas tanah di Indonesia harus punya 5 prinsip, dari kelima prinsip tersebut akan semakin jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan cara penyelesaian dari konversi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
a. Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik
b. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
c. Orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UU ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena Hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung.
d. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing maka Ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini
Dari ketentuan pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa betapa konsekwennya Indonesia terhadap prinsip Nasionalitas, maka hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di peruntukan bagi warga negara Indonesia, orang asing tidak diperkenankan mempunyai tanah walau pun karena pewarisan.
Begitu pula halnya dengan orang-orang yang melakukan pencampuran harta, kewarganegaraan rangkap yakni berkewarganegaraan asing disamping ia warga Negara Indonesia bagi mereka dikenankan sanksi untuk melepaskan hak miliknya itu, dalam jangka waktu 1 tahun jika tidak tanahnya akan jadi milik Negara.
Pasal 30 UUPA memuat prinsip Nasionalitas dari hak guna usaha dan pasal 36 UUPA tentang Hak Guna Bangunan. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa: “ UUPA telah mengIndonesiakan kembali hak-hak atas tanah yang terdapat di Indonesia . Di Zaman berlakunya BW hak-hak atas tanah yang pernah kita kenal seperti hak Eigendom, opstal, Erfacht tidak mempersoalkan kewarganegaraan / kependudukan seseorang asal saja mau tunduk kepada BW dapat saja memiliki tanah di Indonesia .”
b. Prinsip Pengakuan hak-hak atas tanah.
Berlakunya UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang pertanahan. Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum yang lama, yakni Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui Lembaga Konversi disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan ketentuan konversi ini. Berlainan dengan Negara-negara penjajah maupun Negara–negara komunis yang mengambil alih daerah pada umumnya.
c. Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
d. Prinsip Penyesuaian pada Kepentingan Konversi.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang pernah ada sebelum berlaku UUPA, maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Dalam Hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
e. Prinsip Status Quo hak-hak tanah terdahulu.
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat maupun Adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan Hukum.
3. Hak-hak atas tanah yang dikonversi
Di dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA ada 2 sistem hukum yang mengatur masalah tanah yaitu sistem menurut KUH Perdata dan Hukum Adat, semenjak berlakunya UUPA tanggal 24-9-1960 kedua sistem hukum tersebut tidak diberlakukan lagi dan terhadap yang pernah di timbulkan oleh kedua sistem hukum tersebut di konversi ke dalam hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA. Untuk jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
a. Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada ex KUHPerdata. Pasal I ketentuan konversi menyebutkan:
- Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
- Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
- Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum, yang tidak di tunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
- Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-Undang itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas,tetapi selama-lamanya 20 tahun.
- Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
- Hak-hak hipotik, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membenahi hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) ayat (3) pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-Undang ini.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa hak eigendom itu dapat di konversi kedalam 3 kemungkinan:
- Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik.
Konversi hak eigendom menjadi hak milik apabila pemiliknya berwarganegara Indonesia asli atau berwarganegara tunggal pada tanggal 24 September 1960 atau badan hukum Indonesia dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
Kepastian mengenai kewarganegaraan Indonesia tunggal pada tanggal 24-9-1960 berkaitan dengan orang-orang yang sebelum berstatus dwi kewarganegaraan atau bagi WNI yang tadinya berwarganegara asing / keturunan asing.
Pasal 2 PMA No. 2/1960 mewajibkan bagi WNI (baik asli maupun tidak) yang pada tanggal 24-9-1960 telah berkewarganegaraan tunggal dalam waktu 6 bulan yaitu sebelum 24 Maret 1961 datang pada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan untuk memberi ketegasan mengenai kewarganegaraannya itu. Pasal 4 PMA No. 2/1960 menambahkan bahwa jika mereka tidak datang dalam jangka waktu tersebut maka hak eigendomnya tidak dapat dikonversi kedalam hak milik melainkan hanya dapat diberikan dengan hak guna bangunan.
Bagi WNI keturunan Tionghoa, maka penegasan itu harus dibuktikan dengan surat tanda kewarganegaraan menurut PP No. 20/1959 yaitu surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC yang sudah mendapat pengesahan oleh Hakim tertanggal selambatnya 24-9-1960, yang dipertegas lagi dengan surat edaran dari Departemen Agraria tanggal 24-9-1960 dan tanggal 14-2-1961 nomor unda 1/7/39 yang maksudnya bahwa tanggal 24 September 1960 adalah tanggal yang dinyatakan diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri yang ditunjukan sebelah kanan bawah surat penolakakanya dan bukan dari pejabat yang lain.
Surat Edaran Menteri Agraria tanggal 14 Februari 1961 No.unda 6/2 menyatakan bahwa, dalam perundang-undangan RI yang menetapkan siapa-siapa dianggap secara omplisit hanya berkewarganegaraan RI, supaya ditambahkan orang-orang WNI keturunan Tionghoa yang menurut keterangan dari panitia Pemilihan Indonesia atau keterangan-keterangan lainnya membuktikan bahwa mereka ikut memilih dalam pemilihan umum tahun 1955 untuk DPR atau DPRD di Indonesia. Untuk mereka mempergunakan formulir C sebagai lampiran dari PP. 20/1959, dengan catatan formulir tersebut sudah dicantumkam tanggalnya 24 September 1960.
Bagi para WNI bukan keturunan Cina dapat diajukan sebagai bukti kewarganegaraannya surat tanda kewarganegaraan Indonesia (STKI) yang diberikan oleh instansi dari Departemen Dalam Negeri. Kalau STKInya diragukan maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dapat mempersilahkan yang bersangkutan untuk datang ke Pengadilan Negeri agar ditetapkan bahwa ia benar seorang WNI (pasal IV Peraturan Penutup Undang-undang No. 62/1958).
Bagi mereka itu dapat pula diajukan tanda bukti kewarganegaraan lainnya yang sah, misalnya tanda bukti naturalisasi menjadi WNI menurut peraturan yang berlaku pada saat naturalisasi diberikan (misalnya UU No. 3/1946). Mengenai orang-orang WNI bukan keturunan asing (WNI asli) cara pembuktian kewarganegaraannya diserahkan kepada kebijaksanaan KKPT.
Saat mulai berlakunya UUPA belum ada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atas dasar ketentuan pasal 21 ayat (2) itu. Tetapi walaupun demikian, oleh UUPA sendiri telah ditetapkan dalam pasal 49 ayat (1), bahwa badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah, asal tanah itu dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha-usaha dalam bidang keagamaan dan sosial. Oleh karena itu maka untuk konversi hak eigendom kepunyaan badan-badan keagamaan dan sosial menjadi hak milik diperlukan suatu penegasan, pertama bahwa badan-badan yang bersangkutan benar-benar badan keagamaan dan sosial, kedua bahwa tanah eigendom yang dikonversi itu benar-benar dipergunakan untuk keperluan yang dimaksud. Permohonan penegasan tersebut diajukan kepada Menteri Agraria melalui Kepala Pengawas Agraria yang bersangkutan, didaerah dimana tidak ada pejabat ini permohonan diajukan melalui Kepala Inspeksi Agraria (pasal 6 ayat (1) PMA. No. 2/1960).
Setelah keluarnya PMA No. 2/1960 jo PP 38/1963 semakin jelas bagi kita badan-badan hukum mana saja yang hak eigendomnya dapat menjadi hak milik. Terhadap badan-badan hukum yang dimaksud dalam peraturan ini tidak diperlukan lagi suatu penegasan.
- Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan.
Dalam ayat 1 pasal I KK menentukan bahwa hak eigendom kepunyaan orang asing atau orang yang berdwikewarganegaraan dikonversi kedalam HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Hal ini bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang tidak memungkinkan untuk orang asing dan orang yang berdwikewarganegaraan (digolongkan dengan orang asing) mempunyai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Otomatis didalam praktek ketentuan ayat (3) ini tidak mungkin dilaksanakan.
“Melalui surat edaran Menteri Agraria No. Ka. 40/27/25, tanggal 4 Juli 1961 yang ditujukan kepada ikatan notaris Indonesia di Jakarta, menyebutkan bahwa mereka harus melepaskan haknya itu kepada WNI sebelum tanggal 24 September 1961 “
Jadi konversi kedalam HGB ini dapat terjadi bagi WNI tunggal / asli yang mempunyai hak eigendom tapi tidak dapat datang untuk membuktikan kewarganegaraannya kepada KKPT dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960).
Disamping itu hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum juga dikonversi kedalam HGB, tentunya dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia, didirikan menurut hukum Indonesia, dan berdomisili di Indonesia, jika badan hukum tersebut adalah badan hukum asing maka dalam jangka waktu 1 tahun (24 September1961), ia harus melepaskan HGB asal konversi hak eigendomnya tersebut, jika tidak maka tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Pasal 1 ayat 4 KK mengatur perihal konversi hak eigendom yang dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hak eigendomnya di konversi kedalam hak milik, sedangkan hak opstal atau hak erfpachtnya dikonversi kedalam hak HGB dengan jangka waktu sisa yang dikonversi tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal III KK menyebutkan :
a. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang pada mula berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut tetapi selama-lamanya 20 tahun.
b. Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Hak guna usaha asal konversi hak erfpacht untuk perkebunan besar selanjutnya diatur lebih lanjut dengan PMDN No. 2 tahun 1970. Sedangkan bagi hak erfpacht untuk perkebunan besar yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi hak pakai. Hak pakai ini akan berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti mengenai nasib perusahaan perkebunan tersebut. Mungkin perusahan nya akan diberikan kepada pemegang haknya dengan hak guna usaha yang baru, mungkin akan diberikan kepada pengusaha lain atau mungkin akan diusahakan oleh pemerintah.
Hak erfpacht untuk pertanian kecil dahulu diberikan kepada orang-orang Eropa yang kurang mampu. Tetapi kenyataannya mereka yang dianggap kurang mampu ini kalau dibandingkan dengan orang Indonesia asli, termasuk golongan mampu. Dalam hal ini nampak adanya politik deskriminasi antara orang-orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu, maka hal inilah yang mendorong UUPA menyatakan hapusnya semua hak erfpacht untuk pertanian kecil sejak 24 September 1960.
Dalam pasal IV KK mengatur tentang konversi dari pemegang consessie dan sewa untuk perusahaan perkebunan besar. Kemudian dalam pasalV KK mengatur konversi atas hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan.
“Hak opstal dan hak Erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat(1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.”
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan dikonversi kedalam hak guna bangunan selama sisa waktu hak tersebut, selama-lamanya 20 tahun. Dalam PMA No. 7/1965 ditegaskan bahwa batas akhir konversi dari kedua hak tersebut adalah 24 September 1980 atau sisa waktu sebelum tanggal 24 September 1980.
- Hak eigendom di konversikan menjadi hak pakai.
Untuk konversi hak eigendom menjadi hak pakai diatur dalam pasal I ayat (2) KK diperlukan suatu penegasan bahwa tanah eigendom tersebut benar-benar digunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan asing atau gedung kedutaan sebab jika dipergunakan untuk keperluan lain maka hak eigendom tersebut dikonversi menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut dapat dilihat juga dalam Surat Menteri Agraria tanggal 20 Nopember 1961 No. Ka. 12/5/36 yang menetapkan bahwa konversi hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara asing dan gedung kedutaannya di konversi menjadi hak pakai.
Hak pakai dimaksud adalah hak pakai khusus yang tidak tunduk pada ketentuan pasal 41 hingga 43 UUPA, tetapi yang kini diatur oleh PMDN No. 1/1977, yaitu suatu hak pakai yang berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan diperlukan untuk pelaksanaan tugasnya. Hak pakai tersebut digolongkan pada hak pakai publik rechttelijk, tidak ada Right di sposalnya yang berarti hak pakai tersebut tidak dapat dialihkan kepada siapapun dan tidak boleh menjadi hak tanggungan.
Konversi dari hak-hak atas tanah yang tunduk pada bekas KUHPerdata ini dinyatakan berakhir pada tanggal 24 September 1980 yang ditegaskan dengan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979. Jangka waktu selama 20 tahun cukup layak mentolerir keberadaan hak barat tersebut di bumi Indonesia.
Konversi hak atas tanah adat dapat dibedakan dalam tiga bentuk yakni konversi langsung, dengan penegasan hak dan pengakuan. Sebelum diuraikan lebih lanjut maka akan dibicarakan ketentuan dasar dari konversinya dalam pasal II, VI, VII ketentuan konversi.
Pasal II menyatakan :
a. “Hak-hak atas tanah yang memberi hak atas wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang tersebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini, yakni: hak agrarisch eigendom, milik yayasan, andarbeni, grant sultan, landeri janbezi tercht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undangini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang disebut dalam pasal 21.”
b. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagain yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukannya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Dari isi pasal di atas terdapat unsur-unsur penting agar sesuatu hak atas tanah dapat dikonversi menjadi hak milik menurut UUPA yakni :
a. Hak itu memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak milik menurut pasal 20 UUPA;
b. Hak dimaksud sudah ada sebelum UUPA;
c. Pemiliknya harus WNI asli /tunggal atau badan yang ditunjuk oleh Pemerintah(telah dijelaskan terdahulu);
d. Subyeknya tidak terkena ketentuan prinsip nasionalitas.
Pasal VI menyatakan :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalm pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini yaitu vruchtgebruik , gebruik, garant controleur, bruikleen,ganggam bauntuik,angaduh ,bengkok,lungguh ,pituas,dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini , sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-undang ini.”