Menurut pasal 26 KUH Perdata,perkawinan itu dipandang hanya dari hubungan perdata saja,artinya suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Asas-asas atau prinsip suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi,agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
- Suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatatkan (Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974).
- Menganus asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974).
- Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa harus berpikir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
- Mempersukar terjadinya perceraian (PP Nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP nomor 10 Tahun 1983 Tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai negeri sipil).
- Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang,baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Sistem perkawinan dikalangan orang Indonesia asli terdapat 3 sistem perkawinan yaitu :
- Endogami, dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan orang-orang dari suku keluarga sendiri,misalnya : di toraja.
- Exogami, dalam sistem ini diharuskan kawin dengan orang diluar suku keluarganya .Misalnya : Batak,gayo,alas,minangkabau,buru dan seram.
- Eleutherogami, dalam sistem ini tidak dikenal larangan seperti dalam Endogami maupun Exogami.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat-syarat perkawinan dibedakan atas :
- Syarat material (inti).
- Syarat formal.
1.Syarat-syarat Material
Syarat-syarat material dibedakan menjadi :
a.Syarat material absolut,yaitu syarat mengenai pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya yang terdiri dari :
- Monogami (Pasal 3-4 UU No 1 tahun 1974 jo pasal 27 KUH Perdata).
- Adanya persetujuan antara kedua calon suami istri (Pasal 6 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 jo pasal 28 KUH Perdata).
- Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas usia minimal ,laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974).
- Seorang perempuan yang sudah pernah kawin berlaku jangka waktu tunggu (idah),(pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975)
- Untuk kawin diperlukan izin dari orang tua ,keluarga atau wali bagi yang belum mencapai usia 21 tahun (Pasal 6 UU No 1 tahun 1974).
b.Syarat material yang relatif,yaitu mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu,berupa :
- Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (Pasal 8 UU no 1 tahun 1974).
- Larangan untuk kawin kedua kalinya,sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10 UU No 1 tahun 1974).
2.Syarat-syarat formal
Syarat formal dibedakan atas syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan.
a.Syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan :
- Pemberitahuan tentang maksud kawin kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan ,10 hari sebelum perkawinan.
- Pengumuman tentang maksud kawin oleh pegawai pencatat.
b.Syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan :
- Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir.
- Keterangan mengenai nama,agama/kepercayaan,pekerjaan,dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
- Izin tertulis/izin pengadilan apabila calon belum mencapai usia 21 tahun.
- Izin pengadilan/pejabat,bagi suami yang masih mempunyai istri.
- Dispensasi pengadilan/pejabat,bagi laki-laki yang belum mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
- Surat kematian istri/suami yang terdahulu,atau keterangan perceraian.
- Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk bagi anggota ABRI.
- Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat,apabila calon tidak dapat hadir karena alasan penting,sehingga diwakilkan pada orang lain.
Pengertian Monogami
Menurut pasal 3 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan “Pada azasnya dalam suatu perkawinan pria hanya boleh mempunyai seorang istri.seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami”.dengan demikian maka diharapkan seorang Pria hanya mempunyai seorang istri saja (Monogami), dan perempuan tidak diperkenankan mempunyai lebih dari seorang suami (Poliandri).
Namun pada pasal 3 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memperkenankan seorang pria mempunyai istri lebih dari seorang (poligami) atas izin pengadilan,dengan mengajukan alasan dalam permohonan yaitu :
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya kewajibannya sebagai istri.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 UU nomor 1 tahun 1974).
Selain alasan berpoligami,harus juga diajukan syarat permohonan yaitu :
- Adanya persetujuan dari istri-istri.
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil.
Berpoligami hanya diperkenankan apabila agama dan kepercayaannya tidak melarang.KUH Perdata menganut prinsip monogami mutlak,artinya dalam waktu yang sama seorang suami tidak diperkenankan mempunyai lebih dari seorang istri,sebaliknya perempuan tidak boleh mempunyai lebih dari seorang suami (Pasal 27 KUH Perdata).Pelanggaran terhadap prinsip monogami ini tidak hanya menimbulkan batalnya perkawinan itu,tetapi juga diancam hukuman pidana menurut pasal 279 KUH Pidana.
Persetujuan dalam perkawinan
Dalam perkawinan diperlukan persetujuan kedua calon mempelai dan persetujuan keluarga,dalam arti tidak ada paksaan.Persetujuan tidak ada apabila persetujuan itu diperoleh karena adanya paksaan,penipuan dan kekeliruan.
Walaupun perkawinan merupakan persetujuan,tetapi bukanlah suatu persetujuan yang dimuat dalam KUH Perdata,hanya ikatan 2 pihak yang sama,yang lainnya tidak.adapun perbedaannya yaitu :
- Persetujuan pada umumnya hanya mengikat pihak-pihak tertentu,sedangkan persetujuan dalam perkawinan mengikat semua pihak.
- Persetujuan pada umumnya hanya dilakukan oleh 2 pihak,sedangkan persetujuan dalam perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah (dicatatkan).
- Persetujuan pada umumnya dapat mengatur segala hal yang disepakati bersama,sedangkan persetujuan perkawinan segala akibatnya diatur undang-undang.
- Persetujuan pada umumnya hak-hak yang timbul dapat dilimpahkan pada orang lain,sedangkan persetujuan perkawinan hak-hak perkawinan tidak dapat dilimpahkan.
- Persetujuan pada umumnya yang diutamakan adalah isinya bukan bentuknya,sedangkan persetujuan perkawinan yang diutamakan adalah bentuknya ,bukan isinya.
- Persetujuan pada umumnya dapat diakhiri dengan kesepakatan,sedangkan persetujuan perkawinan tidak dapat diakhiri dengan kesepakatan.
Batas usia minimal untuk kawin
Untuk dapat melangsungkan perkawinan seorang calon suami harus telah mencapai usia 19 tahun dan calon istri telah mencapai usia 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974).pembatasan usia minimal bertujuan agar kedua calon mempelai telah masak jiwa raganya ,karena tidak jarang terjadi perkawinan dilangsungkan oleh mereka yang masih dalam usia muda bermuara pada perceraian.
Mereka yang belum mencapai usia minimal dapat melangsungkan perkawinan apabila telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita (pasal 7 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974).
Perkawinan diperkenankan antara dua orang yang sudah lanjut usia ,bahkan diperbolehkan pula perkawinan yang dinamakan “inextrimis” yaitu perkawinan yang pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.
Jangka waktu tunggu
Perempuan yang telah pernah kawin (janda),untuk melangsungkan perkawinan berikutnya diperlukan waktu tunggu (idah),sedangkan bagi duda tidak ada waktu tunggu.
Waktu tunggu atau idah merupakan pranata hukum yang mencegah seorang perempuan yang diceraikan atau kematian suami melangsungkan perkawinannya lagi dalam batas atau tenggang waktu tertentu.Pencegahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari kalau-kalau akan terjadi percampuran darah (sperma laki-laki) antara suami terdahulu dengan suami yang baru.atau dengan kata lain pencegahan confusio sanguinis, yaitu ketidakpastian keturunan siapa apabila ada anak yang dilahirkan.
Menurut Pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975,waktu tunggu adalah :
- Apabila perkawinan putus karena kematian,waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian ,waktu tunggu 3 kali suci,minimal 90 hari.
- Apabila perkawinan putus janda tersebut dalam keadaan hamil,waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Tata cara perkawinan
Sebelum melangsungkan perkawinan ,terlebih dahulu diberitahukan kehendak akan dilangsungkannya perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan ,yang kemudian akan mengumumkannya.pengumuman tersebut dimaksudkan agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengetahuinya dan apabila berkeberatan dapat mencegah perkawinan yang akan dilangsungkan.
Perkawinan dilangsungkan setelah 10 hari sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,dan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan ,kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang menghadiri perkawinan,dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam,ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatangan akta perkawinan,maka perkawinan telah tercatat secara resmi.akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2,helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat perkawinan,helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan berada.dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Pada dasarnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan akta perkawinan,yang telah dibukukan dalam register-register catatan (pasal 100 KUH Perdata),kecuali apabila register-register itu tidak pernah ada atau hilang,maka diserahkan kepada hakim untuk menerima pembuktian secara lain,asal saja hubungan suami istri jelas nampak adanya (Pasal 101 KUH Perdata).